Golput dalam Perspektif Islam.
Fenomena kekecewaan dan sikap apriori terhadap partai-partai banyak ditemukan di masyarakat. Mereka menganggap partai-partai hanya pandai mengumbar janji ketika pemilu, namun setelah mereka berkuasa tidak ada perubahan yang signifikan dalam upaya mengatasi krisis yang terjadi. Akhirnya banyak di kalangan mereka yang apatis bahkan sampai bersikap golput alias tidak akan memilih kepada partai manapun.
Fenomena ini harus diluruskan agar masyarakat memahami tujuan pemilu yang menjadi hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara. Pemilu dalam pandangan Islam adalah sebuah proses memberikan kesaksian kelayakan kepada kandidat (calon pemimpin). Maka kesaksian ini harus diberikan sebanyak-banyaknya yaitu dengan mengedepankan asas kebenaran dan prinsip keadilan. Barangsiapa memberi kesaksian kepada kandidat yang tidak layak dipilih maka ia telah melakukan dosa besar. Karena sama dengan memberikan kesaksian palsu. Bahkan Allah menempatkan perbuatan ini setelah syirik kepada Allah. “..........maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dosa (QS. 22:30)”.
Barangsiapa yang tidak menggunakan kesaksian atau hak pilihnya (Golput), sehingga kandidat yang layak pilih kalah, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat ia dibutuhkan untuk memberikan kesaksian (suara) sebagaimana firman Allah berikut. “ dan janganlah saksi-saksi itu enggan memberikan keterangan apabila dipanggil…..” (QS. 2:282). Selanjutnya “….dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya;dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 2:283)
Demokrasi dalam Perspektif Islam
Dalam perspektif Islam asas demokrasi adalah proses pemilihan yang melibatkan orang banyak untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengatur keadaan mereka. Apabila diperhatikan secara substansif sebenarnya demokrasi cukup dekat dengan Islam, contohnya shalat. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat apabila para makmum tidak suka dengan orang tersebut. Dalam sebuah hadits disebutkan “ tiga golongan yang shalatnya tidak naik keatas kepala mereka sekalipun hanya sejengkal, diantaranya orang yang mengimami suatu kaum dan mereka tidak suka kepadanya” (HR. Ibnu Majah).
Namun berinteraksi dengan demokrasi bisa diterima pada tahap tertentu, didasarkan pada pertimbangan antara maslahat (kebaikan) dan mafsadat (keburukan). Sebab demokrasi memiliki dua sisi yang diakui dan dibenarkan Islam, bahkan dianjurkan dan diwajibkan. Yaitu hak umat dalam mengangkat pemimpinnya, mengawasi mereka, dan memberhentikan mereka bila diperlukan.
Kedua sisi yang ditolak Islam dan digolongkan sebagai salah satu pintu syirik kepada Allah yaitu hak mutlak manusia untuk membuat perundangan, kecuali jika melibatkan kaidah moralitas, prinsip keadilan dan kebenaran sesuai dengan ketentuan agama.
Umat Islam tidak mempunyai hak untuk menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Demikian bahwa alasan satu-satunya seorang muslim masuk kedalam parlemen melalui seleksi pemilu adalah untuk mendakwahkan prinsip universalitas Islam, membela kebenaran, menyampaikan argumentasi kepada orang-orang yang ragu, menasehati orang-oarang yang menghalangi nilai-nilai keadilan universal, seperti upaya sekelompok orang yang ingin melegalisasi perzinaan, minuman keras (narkoba), dan perjuadian.
Jadi partisipasi di alam demokrasi, seperti yang sekarang kami lakukan di Partai Keadilan Sejahtera, disamping mempunyai akar kebenaran dalam referensi Islam, juga punya makna strategis sebagai upaya meretas jalan secara aman dan bebas untuk membangun masa depan peradaban umat manusia yang ADIL dan SEJAHTERA (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur / gemah ripah loh jinawi).
JANGAN GOLPUT
SEBELUM COBA PARTAI KOEADILAN SEJAHTERA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar